Setelah jalan-jalan di dunia maya, saya sempat mendapatkan info terkait hadis-hadis dhaif seputar ramadhan
yang secara otomatis saya pun berniat membagikan kembali info ini.
saling berbagi tentunya hal yang baik untuk sesama. Betapa banyak
hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan bulan ini.
Diantaranya
disebutkan bahwa Ramadan menghapus dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya
dan menyediakan kesempatan yang lebih banyak untuk menambah pahala
dengan memperbanyak ibadah. Berangkat dari semangat ibadah itulah
kemudian banyak orang yang ‘terpeleset’ ke dalam ibadah-ibadah yang
tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah di bulan ini.
Ada banyak hadis-hadis dhaif, bahkan palsu (maudhu’) yang berserakan
seputar bulan Ramadhan. Abdullah al-Himadi, seorang sarjana hadis dari
Emirat Arab, menghimpun ratusan hadis dha’if dalam kitabnya Tahdziru
al-Khillan min Riwayati al-Ahadits al-Dha’ifah haula Ramadhan. Menurut
penelitian ini, terdapat lebih dari seratus hadis dha’if dan maudhu’
(palsu) seputar bulan Ramadan. Ini menunjukkan bahwa Ramadhan merupakan
‘surga empuk’ bagi beredarnya hadis-hadis palsu.
Dalam ilmu Mustalahul Hadis disebutkan bahwa di antara sebab munculnya
hadis-hadis dha’if adalah semangat ibadah yang terlalu tinggi, namun
tidak diiringi oleh sikap ke-hati-hati-an dalam melihat dalil-dalil
agama. Subhi Salih (Ulumul Hadits wa Mustalahuh, 2009: 249) menyatakan
bahwa banyak orang yang zuhud dan sufi di zaman dulu tak dapat menahan
nafsu untuk memalsukan hadis untuk kepentingan mendorong orang berbuat
baik.
Di zaman sekarang kita sering kali pula menyaksikan para dai dan
mubaligh, yang karena keterbatasan pengetahuan tentang kualitas
dalil-dalil agama, juga terlibat dalam mempropagandakan hadis-hadis
dha’if dan palsu tersebut. Padahal dalam Islam, semangat tinggi dan niat
baik saja tidak cukup untuk beribadah, namun juga harus sesuai dengan
tuntunan otentik yang dicontohkan Rasulullah Saw. (QS. 3: 31).
Ibnu Salah (w. 643 H/1245), salah seorang ulama hadis abad pertengahan
yang memiliki banyak pengaruh di kalangan ulama hadis sezaman dan
sesudahnya, telah memberikan definisi atau pengertian hadis sahih
sebagai berikut:
الْحَدِيْثُ الْمُسْنَدُ الذِي اِتَّصَلَ إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ
الضَابِطِ عَنِ الْعَدْلِ الضَابِطِ إِلَي مُنْتَهَاُه وَ لَا يَكُوْنُ
شَاذًا وَلَا مُعَلَّّلاً
“Hadis yang bersambung sanad-nya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh
(periwayat) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, tidak terdapat di
dalamnya kejanggalan dan cacat” (Muqaddimah Ibnu Shalah, vol. I, hal.
1).
Terdapat lima unsur dalam kriteria hadis sahih. Pertama, sanad
bersambung. Yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap
periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat
terdekat sebelumnya, sampai akhir sanad dari hadis itu. Kedua, periwayat
bersifat adil. Diantara unsur adil di sini adalah dapat dipercaya,
tidak berbuat fasik, memelihara kehormatan dan tidak berbuar dosa besar.
Ketiga, periwayat bersifat dhabit, yaitu orang yang kuat hafalannya
tentang apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan
saja ia menghendakinya. Keempat, terhindar dari syaz, yaitu
periwayatnya tidak terpecaya (tsiqat) atau matan dan sanad-nya
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang sama-sama
terpercaya. Terhindar dari illat, yaitu sebab yang tersembunyi yang
merusakkan kualitas hadis.
Pengertian hadis sahih yang telah disepakati oleh mayoritas ulama hadis
di atas telah mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan
bahwa rangkaian periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh
periwayatnya harus adil dan dhabit adalah kriteria untuk kesahihan
sanad, sedang keterhindaran dari jangggal dan cacat, selain merupakan
kriteria untuk sanad, juga berlaku untuk matan hadis (Nuruddin ‘Itr,
Manhaju al-Naqdi fi Ulumil Hadis, 242-3). Karenanya, ulama hadis pada
umumnya menyatakan bahwa hadis yang sanad-nya sahih belum tentu
matan-nya juga sahih.
Dengan mengacu pada unsur-unsur kaidah kesahihan hadis tersebut, maka
ulama menilai bahwa hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan
sebagai hadis sahih, yakni sahih sanad dan sahih matan-nya. Apabila
sebagian unsur tidak terpenuhi, maka hadis yang bersangkutan bukanlah
hadis sahih, alias hadis dha’if.
Para ulama sepakat untuk menolak pengamalan hadis dhaif, terutama yang
berkaitan dengan informasi tentang halal dan haram. Para ahli hadis
bersikap tasyaddud (ketat dan keras) dalam hal tersebut, sehingga mereka
hanya menerima hadis yang paling tinggi derajatnya, atau yang disebut
‘sahih’. Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa bahkan dalam masalah istihbab
(perbuatan yang dianggap sunnah) pun hadis dha’if tertolak. Dalam
Majmu’atul Fatawa (vol. I, hal. 251), ia menyatakan:
وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ إِنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَجْعَلَ
الشَىْءَ وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحَبًّا بِحَدِيْثٍ ضَعِيْفٍ وَمَنْ قَالَ
هَذَا فَقَدْ خَالَفَ اْلإِجْمَاعَ
“Tidak seorang imampun yang membolehkan menjadikan suatu perbuatan
wajib ataupun sunnah dengan semata-mata hadis dha’if. Barang siapa yang
mengatakan hal itu, maka sungguh ia telah menyalahi ijmak ulama”.
Hal itu ditambah lagi bahwa dalam agama Islam terdapat sebuah kaedah
mengenai pelaksanaan ibadah, yakni ia harus berdasarkan nash yang
otentik, baik dari al-Quran maupun al-Sunnah. Rumusan kaedah tersebut
berbunyi:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّحْرِيْمُ وَ الَتْوقِيْفُ
“Pada dasarnya hukum ibadah adalah haram dan menunggu perintah”
Namun dalam masalah keutamaan-keutamaan (fadhailu al-a’mal), terjadi
perdebatan di kalangan para ulama. Sebagian ulama menolak secara mutlak
hadis-hadis dhaif yang terkait dengan keutamaan-keutamaan satu
perbuatan. Pendapat ini dipegang oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, Ibnul
Arabi dan Ibnu Hibban (al-Hamadi, 2002: 37).
Sebagian menerimanya tanpa syarat apapun. Sebagian lagi menerima hadis
dhaif dengan tiga syarat, yaitu: pertama, hadis yang diriwayatkan itu
tidak terlalu daif, kedua, isinya termasuk ke dalam prinsip umum yang
telah ditetapkan oleh al-Quran dan Hadis sahih lain, dan ketiga, tidak
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat (Subhi Salih, 2009: 197). Ada
pula yang menambahkan syarat keempat dan kelima, yaitu tidak menisbahkan
hadis tersebut kepada Rasulullah saat mengamalkannya dan tidak
mengandung informasi yang bertentangan dengan realitas empirik (Yusuf
Qardlawi, Fatawa Mu'ashirah).
1. Do’a Memasuki Bulan Ramadan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ : اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي
رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ
Artinya; “Dari Anas bin Malik, ia berkata, adalah Nabi Saw. apabila
memasuki bulan Rajab, beliau berdo’a, Ya Allah, karunialah kami
keberkahan di bulan Rajab dan Sya’ban, dan karunialah kami keberkahan di
bulan Ramadan”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad (vol. V, no. 2387),
Ibnu Abi Dunya dalam Fadhlu Ramadhan, Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bu
al-Iman (vol. VIII, no. 3654), Abu Nu’aim dalam al-Hulliyah (vol. VI,
no. 269), al-Bazzar dalam kitab Musnad (no 402) dan al-Tabrani dalam
al-Mu’jam al-Awsath (vol. IX, no. 4086). Dalam hadis ini terdapat dua
tokoh yang lemah, yaitu Zaidah bin Abi Raqqad dan Ziyad bin Abdillah
al-Numairi al-Bashri.
Menurut Bukhari dan Nasai (al-Dhu’afa wa al-Matrukin, vol. I, hal. 180)
mereka adalah orang yang munkar al-hadist. Selain itu, hadis ini telah
di-dhaif-kan oleh kritikus hadis terkemuka, di antaranya adalah
al-Nawawi dalam kitab al-Adzkar (vol. I, no. 541), al-Dzahabi dalam
Mizanu al-I’tidal (vol. II, hal. 65), Ibnu Hajar dalam Tahdzibu
al-Tahdzib (vol. III, hal. 263), Ahmad Syakir dan Syu’aib Arnauth ketika
men-tahqiq kitab Musnad imam Ahmad serta Nashiruddin Albani dalam
Misykatul Mashabih (vol. I, hal. 306).
Do’a di atas sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat baik dan
positif, karena seperti dinyatakan Ibnu Rajab al-Hanbali (al-Manawi,
Faidhul Qadir, vol. V, hal. 167) ia melambangkan harapan seorang mukmin
agar bisa mendapatkan kesempatan menambah amal salihnya. Di luar ibadah
mahdlah, seorang muslim memang diperkenankan untuk mengucapkan do’a-do’a
yang baik, bahkan dengan selain bahasa arab sekalipun. Inilah alasan
mengapa para ahli hadis masih bersedia ‘meloloskannya’ dalam kitab hadis
masing-masng.
Imam Ahmad pernah mengatakan: “idza jaa al-halal wa al-haram syaddadna
fi al-asanid, wa idza jaa al-targhib wa al-tarhib tasahhalna fi
al-asanid” (jika terdapat satu hadis mengenai halal dan haram, kami
perketat penyeleksian sanad, dan jika terdapat satu hadis tentang
tentang dorongan berbuat baik dan ancaman berbuat maksiat, kami mudahkan
penyeleksian sanad) (dikutip dari Majmuatu al-Fatawa Ibnu Taimiyyah,
vol. XIIX, hal. 65). Sehingga do’a di atas pada dasarnya tidak masalah
jika ingin diucapkan, dengan syarat tidak meyakininya sebagai sebuah
hadis yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
2. Keutamaan Bulan Ramadan
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Sahih-nya (vol.
III, no. 1887) dan al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman (vol. III, no. 3068).
Hadis ini tercantum pula dalam kitab Fadlailu Ramadan karya Ibnu Abi
Dunya, al-Dlu’afa karya al-‘Uqaili dan al-Kamil karya Ibnu Adi. Mengenai
statusnya, di dalam rantaian periwayatnya terdapat Sallam bin Sawar
yang dinilai oleh para kritikus hadis sebagai orang yang dhaif (Ibnu
Hajar, Lisanul Mizan, hal. 441)) dan Maslamah bin al-Shalt, seorang
perawi yang tidak dikenal (laysa bil ma’ruf) dan hadisnya tidak dipakai
(matrukul hadis).
Menurut ahli hadis kontemporer, Nashiruddin Albani, hadis ini adalah
hadis munkar (al-Silsilah al-Dlaifah, vol. IV, no. 1569). Hadis munkar
adalah hadis di mana sanad-nya terdapat rawi yang pernah melakukan
kesalahan yang parah, pelupa, atau ia seorang yang jelas melakukan
maksiat (fasiq).
Ke-dhaif-an hadis ini bisa pula ditinjau dari segi matan, karena telah
membagi dan membatasi rahmat, maghfirah dan pembebasan neraka dari Allah
pada waktu-waktu tertentu. Padahal tiga hal tersebut ada selama
berlangsungnya Ramadhan. Konsekwensi dari ke-dhaif-annya, hadis ini
tidak bisa dipakai, karena telah menyempitkan apa yang dibuat luas oleh
Allah. Para dai dan mubaligh sebaiknya tidak menyampaikannya, bahkan
sebisa mungkin memperingatkan jamaah akan status dhaif dari hadis ini,
baik secara matan ataupun sanad.
Sebagai alternatifnya, bisa disampaikan hadis-hadis lain yang menerangkan keutamaan bulan Ramadan. Misalnya hadis:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ
مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ
أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ
فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ (رواه أحمد و البيهقي)
“Dari Abu Hurairah ia berkata, tatkala Ramadan tiba, Rasulullah Saw.
bersabda: telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah.
Allah mewajibkan atas kamu sekalian berpuasa di dalamnya. Selama bulan
ini, pintu surga di buka, pintu neraka ditutup dan syaitan-syaitan
dibelenggu. Di dalamnya terdapat malam Lailatul Qadr yang lebih baik
dari pada seribu bulan. Barang siapa yang tidak mendapatkan kebaikan
pada malam ini,maka ia tidak mendapatkan kebaikan Lailatul Qadr.
3. Do’a Berbuka Puasa
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ
وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zahrah, bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa nabi
Muhammad Saw. apabila berbuka, beliau berdoa: “Allahumma laka shumtu wa
‘ala rizqika afthartu”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (vol. VII/no.
2360), al-Baihaqi dalam al-Sunan (vol. II, no. 8392) dan Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannaf (vol. II, no. 9744). Di dalam hadis ini terdapat
sosok Mu’adz bin Zahrah yang dipermasalahkan para kritikus hadis.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani (Tahdzibul Kamal, vol. XXIIX, hal. 122,
Tahdzibut Tahdzib, vol. X, hal. 172) tabiin satu ini sering meriwayatkan
hadis secara mursal (tidak menyebutkan perawi dari tingkatan sahabat).
Al-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 190), kitab yang menghimpun do’a-do’a,
juga mengakui hadis ini memiliki status mursal. Selain itu, Ibnu Qayyim
dalam Zadul Ma’ad (vol. II, hal. 48) menilai hadis ini la yutsbat (tidak
pasti berasal dari nabi), al-Syaukani dalam Naylul Authar menilainya
matruk (tidak digunakan). Menurut Albani dalam Irwaul Ghalil (vol. IV,
hal. 38), hadis ini berstatus dha’if.
Sekalipun jalurnya banyak, hadis ini tidak bisa terangkat menjadi hasan
seperti yang dinyatakan dalam adagium ‘ya’dhadhu ba’dhahu ba’dhan’
(menguatkan satu sama lain), karena status dhaif-nya yang tingkat
tinggi. Maka, dalam hal ini berlaku kaedah, katsaratu al-turuq la
tadullu ‘ala sihhati al-hadist tamaman (banyaknya jalur periwayatan
tidak menunjukkan kesahihan hadis secara otomatis). Sebagai alternatif
do’a yang bisa dipanjatkan saat berbuka adalah doa berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ : ذَهَبَ الظَّمأُ ، وابْتَلَّتِ العُرُوقُ ،
وثَبَتَ الأجرُ إِن شاءَ اللهُ
Dari Abdullah bin Umar bin Khattab Ra. ia berkata, adalah Rasulullah
Saw. apabila berbuka, beliau berdo’a: “dzahab al-zhamau wa ibtalati
al-uruqu wa tsabata al-ajru insya Allah” (telah hilanglah rasa dahaga,
dan telah basahlah tenggorokan, dan tetaplah pahala, insya Allah). (HR.
Abu Dawud, Nasai, Bazar, Dlaruqutni, Hakim dan Baihaqi)
4. Berbuka dengan Kurma
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ
أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَى مَاءٍ
فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ
“Jika salah seorang di antara kamu sekalian berbuka, hendaklah ia
berbuka dengan kurma, jika ia tidak menemukannya, maka dengan air,
karena sesungguhnya air itu suci”.
Hadis tentang berbuka puasa dengan kurma dengan redaksi yang melaporkan
sabda nabi (sunnah qauliiyah) seperti ini menurut tiga orang kritikus
hadis kontemporer, Muqbil bin Hadi, al-Hilali dan al-Albani (Shahih wa
Dha’if Sunan Tirmidzi, vol. II, 158, Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah,
vol. IV, hal. 199) adalah hadis dha’if.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad (no. 16655), Tirmidzi
(no. 660), Ibnu Majah (no. 1699), al-Darimi (no. 1754) dalam Sunan
mereka masing-masing, Ibnu Hiban dalam al-Sahih (no. 3584), Tabrani
dalam al-Mu’jam al-Kabir (no. 6196) dan Baihaqi dalam Sya’bul Iman (no.
3742) dan al-Nasai dalam al-Sunan al-Kubra (no. 3326).
Sekalipun hadis ini diriwayatkan oleh banyak penulis hadis (mukharrij),
namun hanya memiliki jalur tunggal, yaitu dari Hafshah binti Shirrin
dari Rabab dari Salman bin Amir. Menurut al-Dzahabi dalam Mizanul
I’tidal (vol. IV. Hal. 606) wanita bernama Rabab dalam hadis ini adalah
tokoh yang tidak diketahui (la tu’raf).
Hadis ini tidak memiliki satu pun syahid (penguat dari hadis lain),
kecuali satu hadis dari jalur sahabat Anas bin Malik yang ternyata di
dalamnya juga terdapat illat (kecacatan), karena terdapat seorang perawi
yang bernama Said bin Amir yang dinilai sering melakukan kesalahan
(yukhti katsiran) (Albani, Irwaul Ghalil, vol. IV, hal. 50).
Sebagai alternatif dari ke-dha’if-an hadis qauli mengenai berbuka dengan
kurma di atas, terdapat satu hadis fi’liy (sunnah fi’liyah), yang
diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik. Hadis tersebut berbunyi :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ
تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا
حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Artinya: “Dari Anas bin Malik ia berkata, adalah “Rasulullah Sawbiasa
berbuka dengan beberapa biji ruthab (kurma masak yang belum jadi tamr)
sebelum shalat Maghrib; jika tidak ada beberapa biji ruthab, maka cukup
beberap biji tamr (kurma kering); jika itu tidak ada juga, maka beliau
minum beberapa teguk air.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Hakim dan
Baihaqi)
Perbedaan redaksi dalam hadis, antara perintah (fi’lul amri) dan laporan
sahabat mengenai perbuatan nabi, membawa implikasi sendiri dalam
penetapan hukum. Dalam usul fikih diterangkan bahwa hadis yang datang
dalam bentuk fi’lu al-amri bisa bermakna sunnah (yufidu al-sunnah) atau
bahkan wajib (yufidu al-wujub). Hal tersebut berbeda dengan satu
perbuatan yang dilakukan nabi lalu diceritakan oleh sahabatnya (sunnah
fi’liyyah).
Bisa saja perbuatan nabi yang dilaporkan dalam hadis tersebut terjadi
hanya beberapa kali, dan selain itu, bisa pula tidak ada unsur ibadah di
dalam perbuatan tersebut (laysa minal qurbah). Namun, apapun, paling
tidak yang bisa dipastikan dari sunnah fi’liyah yang berdiri sendiri
adalah ia bukanlah satu kewajiban agama. Satu kaedah menerangkan:
“mujarradu al-fi’li la yufidu al-wujub” (perbuatan nabi saja tidak
mengindikasikan wajibnya perbuatan tersebut).
Berhubung artikel yang kami sajikan terlalu panjang maka Silahkan baca lanjutan artikel ini di
Bagian 2
Bagian 2 :
7 Hadits Palsu Seputar Ramadhan (Bagian 2)